JAKARTA, mypolis.tech – Memberi hutang dalam Islam pada dasarnya boleh dan malah dianjurkan sebagai ibadah berpahala sebab telah menolong saudaranya sesama muslim yang sedang mengalami kesulitan.
Namun, bagaimanakah rukun dan syaratnya? Untuk mengetahuinya, simak ulasannya berikut ini.
Definisi Hutang Piutang — Memberi Hutang dalam Islam
Hutang piutang atau qard mempunyai istilah lain yang disebut dengan “dain” (دين). Istilah “dain” (دين) ini juga sangat terkait dengan istilah “qard” (قرض) yang menurut bahasa artinya memutus.
Baca juga: Tips Sukses Investasi Bitcoin Saat Memiliki Cicilan Hutang
Menurut terminologi Fiqih, bahwa akad hutang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian bahwa dia akan mengembalikan sesuatu yang diterimanya dalam jumlah yang sama dan dalam jangka waktu yang disepakati.
Dasar Hukum Hutang Piutang
Dasar disyariatkan ad-dain/qardh (hutang piutang) adalah al-Qur’an, hadits dan ijma.
Al-Qur’an surah al-Baqarah (2): 245
Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 245).
Ayat ini menganjurkan kepada orang yang berpiutang (muqrid) untuk memberikan bantuan kepada orang lain dengan cara memberi hutang dan pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Dari sisi orang yang berhutang (muqtadir), diperbolehkan berhutang untuk hal-hal yang bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengembalikan pinjaman dengan jumlah yang sama.
Hadis Rasullullah
Artinya: “Tidak ada seorang muslim yang memberi hutang kepada seorang muslim dua kali kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya satu kali.” (HR. Ibnu Majah).
Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang berpiutang (muqrid) akan diberi pahala yang berlipat ganda dimana dalam dua kali menghutangi seperti pahala sedekah satu kali.
Hukum
Hukum asal dari hutang piutang adalah mubah (boleh), namun hukum tersebut bisa berubah sesuai situasi dan kondisi, yaitu:
- Hukum orang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan orang yang memberikan hutang hukumnya sunnah sebab ia termasuk orang yang menolong
- Hukum orang yang berhutang menjadi wajib dan hukum orang yang menghutangi juga wajib, jika peminjam itu benar-benar dalam keadaan terdesak, misalnya hutang beras bagi orang yang kelaparan, hutang uang untuk biaya pengobatan dan lain Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.:Artinya: “Tidak ada seorang muslim yang memberi pinjaman kepada seorang muslim dua kali kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya satu kali”. (HR. Ibnu Majah)
- Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, jika terkait dengan hal-hal yang melanggar aturan syariat. Misalnya memberi hutang untuk membeli minuman keras, berjudi dan Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. yang berbunyi Artinya: “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa- Nya.” (QS. Al-Maidah [5]: 2).
Dalam hutang piutang dilarang memberikan syarat dalam mengembalikan hutang. Misalnya Fatimah menghutangi Mahmud Rp. 100.000,00 dalam waktu 3 bulan dan meminta Mahmud untuk mengembalikan hutangnya sebesar Rp.110.000,00. Tambahan ini termasuk riba dan hukumnya haram. Tetapi, jika tambahan ini tidak disyaratkan waktu akad dan dilakukan secara sukarela oleh peminjam sebagai bentuk terima kasih, maka hal ini tidak termasuk riba bahkan dianjurkan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.:
Artinya:”Dari Abu Hurairah Ra. berkata, “Seseorang telah mendatangi Rasulullah Saw. untuk menagih hutang seekor unta.” Maka, Rasulullah Saw. bersabda: “Berikanlah seekor unta yang lebih bagus dari untanya.” Lalu Nabi Saw. bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik dalam melunasi hutangnya.” (HR. Muslim).
Baca juga: Tips Menabung Untuk Beli Rumah Saat Punya Cicilan Hutang
Rukun dan Syarat — Memberi Hutang dalam Islam
Rukun Hutang piutang (qard) ada tiga yaitu:
- Dua orang yang berakad (pemberi hutang dan orang yang berhutang)
Syarat pemberi hutang antara lain ahli tabarru’ (orang yang berbuat kebaikan) yakni merdeka, baligh, berakal sehat, dan rasyid (pandai serta dapat membedakan yang baik dan yang buruk).
Syarat orang yang berhutang. Orang yang berhutang termasuk kategori orang yang mempunyai ahliyah al-muamalah (kelayakan melakukan transaksi) yakni merdeka, baligh dan berakal sehat.
2. Harta yang dihutangkan
Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, seperti uang, barang-barang yang ditakar, ditimbang
Harta yang dihutangkan diketahui kadarnya
3. Sighat ijab kabul
Ucapan antara dua pihak yang memberi hutang dan orang yang berhutang. Ucapan ijab misalnya “Saya menghutangimu atau memberimu hutang” dan ucapan kabul misalnya “Saya menerima” atau “ saya ridha “ dan sebagainya.
Baca juga: 2023 Tahun Berat bagi yang Punya Hutang, Benarkah? Simak di Sini!
Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di mypolis.tech